Pada dasarnya Sistem Penciuman Elektronik yang dikembangkan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu subsistem sensor yang mengubah besaran aroma menjadi besaran fisik, subsistem elektronik yang mengukur besaran perubahan frekuensi sensor dan menyimpan data ke komputer, serta perangkat lunak jaringan neural buatan (JNB) untuk melakukan proses pengenalan pola aroma yang dideteksi. Sistem Penciuman Elektronik menggunakan sensor kuarsa untuk menggantikan fungsi sistem sel reseptor dalam hidung manusia, sedangkan jaringan neural buatan yang dikembangkan digunakan untuk meniru sistem neural manusia pakar.
Sensor yang dipakai adalah sensor resonator kuarsa yang dilapisi membran sensitif. Sensor ini diletakkan di dalam osilator yang bertindak sebagai resonator pada frekuensi dasar tertentu. Prinsip kerja dari sistem sensor ini adalah menghitung besar penurunan frekuensi dasar sensor akibat adsorbsi molekul aroma oleh membran. Fenomena ini disebut efek pembebanan massa (mass loading effect) yang diberikan oleh persamaan Sauerbrey [13-14]:
DF = -2,3 x 10 6 x F2 x
dengan F adalah frekuensi resonansi dasar (MHz), DM adalah massa total molekul gas yang terserap (gr). dan A adalah luas elektroda (cm2). Setiap sensor dilapis dengan membran sensitif yang berbeda, agar kita mempunyai dimensi yang berbeda untuk dapat menggambarkan ruang aroma yang akan dideteksi.
Skematik diagram sistem elektronik menggunakan 16 buah sensor
Sistem elektronik dalam Sistem Penciuman Elektronik ini berfungsi seperti FDC (frequency to digital converter) dengan merubah besaran penurunan frekuensi karena efek pembebanan massa gas menjadi sekumpulan angka untuk dapat disimpan dan diproses dalam komputer. Sekumpulan angka ini juga yang akan menjadi masukan bagi jaringan neural untuk dapat membuat klasifikasi jenis aroma masukan. Sistem elektronik ini dapat dibagi menjadi 3 sub-bagian, berdasarkan fungsi yang berkaitan
dengan:
1. Rangkaian waktu dasar
2. Rangkaian pencacah frekuensi
3. Rangkaian antar muka
Rangkaian waktu dasar digunakan untuk mencacah frekuensi selama 1 detik, sehingga didapatkan ketelitian hingga mencapai orde frekuensi sebesar 1 Hertz. Penurunan frekuensi dasar akibat pelapisan membran sensitif berkisar antara 5 sampai 20 kHz, sedangkan penurunan frekuensi dasar akibat efek pembebanan massa oleh aroma mencapai kurang dari 5 kHz pada penggunaan sensor dengan frekuensi dasar 10 MHz [9].
Skematika rangkaian pencacah frekuensi
Sedangkan rangkaian pencacah frekuensi yang dikembangkan mempunyai ketelitian 16 bit, sehingga dapat memiliki kemampuan mencacah efek penurunan frekuensi hingga mencapai orde 76 kHz untuk setiap sensor. Aliran data dari rangkaian pencacah frekuensi dilakukan dengan menggunakan dua buah pencacah 8 bit (16 bit) untuk masing-masing pencacah. Komputer mengambil data setiap byte (8 bit) dari pencacah secara berurutan lewat rangkaian antar muka. Proses pengambilan data tersebut berlangsung dalam kurun waktu mili detik, sehingga dapat dilakukan secara paralel. Proses ini menghasilkan data dari masing-masing sensor pada kondisi (tekanan, volume, dan suhu) pencuplikan sampel yang sama. Rangkaian antar-muka kemudian dikembangkan dengan menggunakan PIO (Programmable Input-Output) 8255 sebagai pengontrol rangkaian antar muka. Beberapa alasan dipakainya PIO 8255 diantaranya adalah: banyaknya jumlah port (3 port; 1 port mengontrol 8 pin), mudahnya pemrograman dan fleksibilitas alat untuk pengembangan lebih lanjut. Alamat memori yang digunakan untuk mengontrol PIO 8255 pada sistem hidung elektronik ini adalah 300H-303H. Agar komputer dapat mengaktifkan PIO 8255 pada alamat-alamat tersebut dibutuhkan rangkaian dekoder untuk menerjemahkan alamat tersebut. Rangkaian decoder tersebut akan digabung dengan PIO 8255 menjadi sistem antar muka yang dapat membaca data dari rangkaian pencacah frekuensi, yang dapat diliha dalam gambar.
Rangkain dekoder dalam sistem elektronik
No comments:
Post a Comment